Sabtu, 28 Juli 2012

Transformasi Jiwa melalui Puasa

“Konon... puasa di ciptakan agar kita bertakwa... Lha hubungannya lapar dengan bertakwa itu apa..? Dan di bulan ramadhon konon tidak boleh marah, berantem... Apakah karena tidak ada asupan energi membuat kita malas untuk marah dan sifat emosi lainnya..?”

Pertanyaan di atas sering terlontar, akan tetapi karena keimanan kita untuk menjalankan ibadah puasa pertanyaan seperti diataspun tak pernah terucap.

Mari kita tinjau tentang hakikat puasa dan transformasinya terhadap kejiwaan.

Petanya: Sebelum puasa -> Tubuh di dominasi fikiran/aql -> Puasa -> Tubuh phisical istirahat (resesif) -> Ada dominasi spirit -> Spiritual mendominasi tubuh -> Spirit ada "campur tangan" Sang Ruhi -> hasil akhir : ada sifat fitrah /sifat ketuhanan pada jiwa.

Penjelasan: Manusia memiliki kelebihan dibandingkan dengan hewan, disamping kemampuan berfikir manusia juga memiliki kemampuan memilih. Prinsip ini disebut Nafs Al Insanniyat (diri sejati).

Menurut Q.S. Alqiyamah, 75 :14:"Akan tetapi dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)."

Kata bashirah disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia, sekalipun sangat rahasia . Ia biasa menyebut wujudnya "Aku". Wujud aku memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kesenangan, kebaikan, kebohongan dan beberapa kata sifat lainnya. Ia jujur, bersih dan suci, sehingga setan, jin dan manusia tidak bisa menembus alam ini karena sangat dekat dengan Allah. Allah menyebutnya dengan RohKu.

Aktifitas rohani yang diajarkan oleh Allah untuk memperoleh kesejatian ini adalah beribadah puasa. Dalam ibadah ini manusia diwajibkan mengendalikan emosi dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dari keinginan syahwati/ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, sehingga sang fisik seolah-olah tidak lagi mengikuti Aku (diri sejati). Kondisi itulah yang oleh Allah dikatakan sebagai karunia Lailatul Qadar, dimana manusia yang mencapai kondisi tersebut mampu menmbus seluruh semesta rohani dan berubah menjadi manusia sejati dan fitrah. Keadaan fitrah ini diungkap Al Quran bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah ini sama dengan Kehendak Allah. Q.S. Arrum, 30:30

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (Tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".

Dalam kondisi tersebut manusia mendapat karunia kepatuhan dan ketakwaan, seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana tak dapat dimengerti kenapa terlahir ke dunia ini, kenapa bisa bernafas tanpa di kontrol/dikehendaki. Hal ini merupakan renungan yang hakiki, kenapa pikiran kita tak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuatan Allah itu..

Setelah ada dominasi Sang Rohku terhadap fisik, maka akan ada perubahan sifat ketuhanan yang labil yang perlu terus dipelihara seusai bulan ramadhan, ibaratnya : pada bulan ramadhan kita merajut benang untuk dijadikan sweater, setelah sweater selesai dibuat maka harus dipelihara, jangan diurai lagi rajutannya..

Sekian semoga membantu, kurang lebihnya saya mohon ma'af yang sebesar2an...

Jumat, 27 Juli 2012

Jangan Berbuka Puasa Dengan Yang Manis

Sebentar lagi kita umat muslim di dunia akan melaksanakan ibadah puasa... sebelumnya aku coba berbagi tulisan yang aku kumpulkan dari berbagi sumber dan semoga bermanfaat buat sahabatQ semua...

Di bulan puasa, sering kita dengar kalimat ‘Berbuka puasalah dengan makanan atau minuman yang manis,’ katanya. Konon, itu dicontohkan Rasulullah saw. Benarkah demikian?

Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Nabi Muhammad Saw berkata : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma. Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”

Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air. Samakah kurma dengan ‘yang manis-manis’? Tidak. Kurma, adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate). Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat sederhana (simple carbohydrate).

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan makanan atau minuman yang manis adalah ’sunnah Nabi’. Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.

Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa berbuka puasa ‘disunnahkan’ minum atau makan yang manis-manis. Sependek ingatan saya, Rasulullah mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih, bukan yang manis-manis.

Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis. Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak menggemukkan. Tapi kurma yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di bulan Ramadhan sudah berupa ‘manisan kurma’, bukan lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet dalam perjalanan ekspornya. Jadi, kalau mau mengikuti sunnah Rasulullah, sebisa mungkin carilah kurma yang tanpa ditambahkan kandungan gula. Caranya? Nggak tau. Metik dari pohonnya, kali? heheee......

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak kesehatan?

Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma, sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu. Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli, naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara ‘indeks glikemik’ (glycemic index/GI) saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat, akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat tinggi indeks glikemiknya), sehingga respon insulin dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada sahabatku. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau. Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.

Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha, belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak, padahal otot sedang mengecil karena puasa.

Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah makin terlihat seperti ‘buah pir’, penuh lemak di daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah ’sunnah’, maka puasa bukannya malah menyehatkan kita. Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas, mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka efeknya ‘rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.’

Nah, saya kira, “berbukalah dengan yang manis-manis” itu adalah kesimpulan yang terlalu tergesa-gesa atas hadits tentang berbuka diatas. Karena kurma rasanya manis, maka muncul anggapan bahwa (disunahkan) berbuka harus dengan yang manis-manis. Pada akhirnya kesimpulan ini menjadi waham dan memunculkan budaya berbuka puasa yang keliru di tengah masyarakat. Yang jelas, ‘berbukalah dengan yang manis’ itu disosialisasikan oleh slogan advertising banyak sekali perusahaan makanan di bulan suci Ramadhan.

Namun demikian, sekiranya ada di antara para sahabat yang menemukan hadits yang jelas bahwa Rasulullah memang memerintahkan berbuka dengan yang manis-manis, mohon ditulis di komentar di bawah, ya. Saya, mungkin juga para sahabat yang lain, ingin sekali tahu.

Semoga tidak termakan waham umum ‘berbukalah dengan yang manis’. Atau lebih baik lagi, jangan mudah termakan waham umum tentang agama. Periksa dulu kebenarannya. Kalau ingin sehat, ikuti saja kata Rasulullah: “Makanlah hanya ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang.” Juga, isi sepertiga perut dengan makanan, sepertiga lagi air, dan sepertiga sisanya biarkan kosong.

“Kita (Kaum Muslimin) adalah suatu kaum yang bila telah merasa lapar barulah makan, dan apabila makan tidak hingga kenyang,” kata Rasulullah.

“Tidak ada satu wadah pun yang diisi oleh Bani Adam, lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah baginya beberapa suap untuk memperkokoh tulang belakangnya agar dapat tegak. Apabila tidak dapat dihindari, cukuplah sepertiga untuk makanannya, sepertiga lagi untuk minumannya, dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya yang bersumber dari Miqdam bin Ma’di Kasib)

Semoga bermanfaat…. Selamat menyambut datangnya bulan RAMADHAN, semoga kita semua diberi kekuatan untuk menjalankan perintah_Nya....