Kamis, 02 Agustus 2012

Mengasah diri lewat pasangan hidup

Beragama lewat pernikahan itu lebih berat dari pada selibat. Kata Rumi, “kalau engkau termasuk manusia pemberani, maka tempuhlah jalan Muhammad (yaitu menikah dan membersihkan diri lewat pasangan). Tapi kalau tidak, maka setidaknya tempuhlah jalan Isa.”

Justru tujuan pernikahan bagi mereka (para penempuh jalan spiritual sejati) masing-masing lelaki dan wanitanya adalah ‘menggunakan’ ketidaksempurnaan pasangannya itu untuk membersihkan jiwanya sendiri. Dia mengamplas hatinya lewat pasangannya, demi meraih Cinta Sempurna (C dan S nya kapital) untuk diri dan pasangan mereka, karena masing-masing diri mereka menyadari bahwa cinta mereka untuk pasangannya bukanlah cinta yang tertinggi.

Socrates paham sepenuhnya hal ini. Ia, sebagai seorang pencari kebenaran hakiki (sufi sejati juga kali?) justru mencari wanita berperangai paling buruk di Athena untuk ia nikahi. Ia ingin mengasah kebijaksanaan dan kesabarannya lewat istrinya. Kata-kata beliau yang terkenal setelah menikah: “By all means, get married! If you get a good spouse you’ll be happy. If you get a bad one, you’ll become a philosopher. You have nothing to lose.” Lucu sih. Tapi dalem.

Ini dari kitabnya Rumi, Fihi Ma Fihi diskursus #20, terjemahan monsiour Herr Mann Soetomo, tentang pernikahan sebagai jalan Muhammad: Siang dan malam engkau senantiasa berperang, berupaya mengubah akhlak dari lawan-jenismu, untuk membersihkan ketidak-sucian mereka dan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan mereka. Lebih baik mensucikan dirimu-sendiri melalui mereka daripada mencoba mensucikan mereka melalui dirimu-sendiri. Ubahlah dirimu-sendiri melalui mereka. Temuilah mereka dan terimalah apa saja yang mereka katakan, walaupun dari sudut-pandangmu ucapan mereka itu terdengar aneh dan tidak-adil.

Pada hakikat dari persoalan ini lah, Muhammad S.A.W. berkata: “Tidak ada kerahiban dalam Islam.” Jalan para rahib adalah kesendirian, tinggal di pegunungan, lelaki hidup tanpa perempuan dan berpaling dari dunia. Allah menunjukkan jalan yang lurus dan tersembunyi kepada Sang Nabi. Jalan apakah itu? Pernikahan, agar kita dapat menanggung ujian kehidupan bersama dengan lawan-jenis, mendengarkan tuntutan-tuntutan mereka, agar mereka memperlakukan kita dengan keras, dan dengan cara demikian memperhalus akhlak kita.

Menanggung dan menahan penindasan dari pasanganmu itu bagaikan engkau menggosokkan ketidak-murnianmu kepada mereka. Akhlakmu menjadi baik melalui kesabaran; sementara akhlak mereka menjadi buruk melalui pendominasian dan agresi mereka. Jika engkau telah menyadari tentang ini, buatlah dirimu bersih. Ketahuilah bahwa mereka itu bagaikan pakaian; di dalamnya engkau dapat membersihkan ketidak-murnianmu dan engkau sendiri menjadi bersih.

Singkirkan dari dirimu kebanggaan, iri dan dengki, sampai engkau alami kesenangan dalam perjuangan dan penderitaanmu. Melalui tuntutan-tuntutan mereka, temukanlah kegembiraan ruhaniah. Setelah itu, engkau akan tahan terhadap penderitaan semacam itu, dan engkau tidak akan berlalu dari penindasan, karena engkau melihat keuntungan yang mereka berikan.

Diriwayatkan bahwa suatu malam Nabi Muhammad S.A.W. dan para sahabatnya kembali dari suatu ekspedisi. Belian menyuruh mereka memukul genderang, seraya berkata: “Kita akan berkemah di gerbang kota, dan memasukinya esok-hari.” Mereka bertanya: “Wahai Rasul Allah, mengapa kita tidak langsung saja kembali ke rumah masing-masing?” Beliau S.A.W. menjawab: “Bisa jadi engkau akan menemui istrimu di ranjang bersama lelaki lain. Engkau akan terluka, dan kegaduhan akan timbul.” Salah seorang sahabat tidak mendengar ini, dia masuk ke kota, dan mendapati istrinya bersama dengan orang lain.

Jalan dari Sang Nabi adalah seperti ini: Menanggung kesedihan itu perlu untuk membantu kita membuang egoisme, kecemburuan dan kebanggaan. Menahan sakit dari keinginan-keinginan berlebihan dari pasangan kita, sakitnya beban ketidak-adilan, dan ratusan ribu macam sakit lainnya yang tidak terbatas, agar jalan ruhaniah dapat menjadi jelas.

Jalan dari Nabi Isa a.s. adalah bergulat dengan kesepian dan tidak meladeni syahwat. Jalan Muhammad S.A.W. adalah dengan menanggung penindasan dan kesakitan yang ditimbulkan oleh lelaki dan perempuan satu sama lain. Jika engkau tidak dapat menempuh jalan Muhammad, setidaknya tempuhlah jalan Isa, sehingga dengan demikian engkau tidak sepenuhnya berada di luar jalan ruhaniah. Jika engkau mempunyai ketenangan untuk menanggungkan seratus hantaman, dengan memandang buah dan panen yang lahir melalui mereka, atau jika engkau diam-diam meyakini di dalam kalbumu, “Walaupun saat ini aku tidak melihat hasil-panen dari penderitaan ini, pada akhirnya aku akan meraih harta-karun,” bahwa engkau akan meraih harta-karun, itu benar adanya; dan yang jauh lebih berlimpah dibandingkan dengan yang pernah engkau inginkan dan harapankan.

Jadi, justru di jalan Muhammad orang yang mau menikah seharusnya sepenuhnya menyadari bahwa sifat-sifat pasangan yang ‘buruk’ itu akan menempa kita, demi menjadi bijak, bersih, matang, dan suci, untuk meraih cinta tertinggi bagi masing-masing pasangan. Ini bahagia atau tidak bahagia? Tergantung cara memandang ‘kebahagiaan’. Bahagia kelas permen atau bahagia kelas langit.

Di sisi lain, Rasul melarang menikah tanpa cinta, sekalipun itu paksaan orangtua sendiri. Cinta adalah landasannya pernikahan. Tapi para pejalan ini tahu, bahwa hanya ada dua kemungkinan arah cinta di awal pernikahan itu: cinta itu akan mati saja, atau cinta itu akan mati dan tertransformasi menjadi cinta yang lebih tinggi, dalam tiap tahapan pernikahan. Itu artinya menanggung tempaan secara teratur, selang seling senang dan martil.

Sekarang, kalau saya ditanya, memang mau menempuh pernikahan seperti itu? Berani? Sejujurnya, rasanya nggak lah. Ke’sufi’an (dalam tanda kutip) yang saya punya paling juga masih sebatas wacana. No way. Not way. Saya juga tentu mengharapkan kebahagiaan dalam pernikahan saya. Tapi pada saat yang sama, juga mengharapkan adanya transformasi. Agaknya kalau mau enak semuanya itu jawaban hawa nafsu saya saja.

Kalau merenungi landasan pernikahan kami lumayan membuat saya ‘berkeringat dingin’. Bukan mikirin malam pertama, tapi mikir landasan pernikahan kami. Udah benar belum ya, landasannya, niatnya, paradigmanya, harapannya? Kalo salah gimana? Apa yang terjadi nanti? Apakah langgeng, berantem, bercerai? Kaya, melarat? Nggak tau. Mutlak nggak tau.

Saya hanya berharap semoga Allah tidak pernah meninggalkan kami, dan mencukupi kebutuhan kami lahir dan batin, jasad dan jiwa. Semoga dari ketidaktahuan itu akan lahir sebuah Keberserahdirian yang mendatangkan rahmat.

Islam, aslama, berserah diri. Makanya kata Rasul, menikah adalah setengah diin, diinul-Islam, jalan keberserahdirian. Sebuah kebergantungan hati yang mutlak kepada Allah ta’ala, no matter how good we are. That sense is so hard to accomplish.

Semoga Allah menguatkan kami dalam penempaannya. Semoga Allah berkenan hadir mengunjungi kami dalam kebahagiaan-kebahagiaannya. Ya Rabb, please be gentle with me. This is my first. Actually, You are my first...

--------------------------------------

Tulisan ini saya kutib sebagian dari milis tetangga.. Jujur saya menyukai tulisan ini... semoga menjadi amal yang tiada putus karena manfaat dari ilmunya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar