Rabu, 01 September 2010

SEBUAH RENUNGAN DI AWAL RAMADHAN

Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitri. Pada semua bayi yang akan dilahirkan, Allah meniupkan ruh-Nya, sehingga manusia mendapatkan “warisan” sifat-sifat Allah dan jiwa yang cenderung pada sifat-sifat ilahiyah (nafs muthma’innah). Namun, manusia tumbuh dalam lingkungan yang tidak seluruhnya mendukung tegaknya kefitrian manusia itu. Dalam diri manusia sendiri ada sifat-sifat kebinatangan yang cenderung mendorong manusia pada keangkaramurkaan, egoisme, dan keserakahan. Sifat kebinatangan itu juga cenderung mendorong manusia ke arah yang serba berlebihan. Makan-minum berlebihan, meneguk kenikmatan seksual secara berlebihan, meraup kekuasaan secara berlebihan, dan seterusnya.

Kecenderungan-kecenderungan kebinatangan itulah yang ditekan dan dikendalikan oleh ibadah shiam (puasa), tetapi tidak meniadakannya sama sekali. Shiam adalah ibadah yang memiliki dimensi kejiwaan yang sangat kuat. Inilah lembaga pelatihan bagi manusia untuk mengendalikan egoisme, keserakahan, dan keangkaramurkaan. Selama sebulan penuh manusia ditempa agar kembali kepada fitrahnya, kembali pada manusia yang cenderung pada ruh Allah yang ditiupkan saat masih berada dalam kandungan ibu.

Di dalam jiwa manusia ada tiga tingkatan nafs yang disebut nafs muthma’innah (jiwa yang cenderung kepada sifat-sifat indah ketuhanan), nafs lawwamah (jiwa yang berada di tengah-tengah antara ketuhanan dan kebinatangan), dan nafs ammarah (jiwa yang cenderung pada nafsu-nafsu hewani). Sebagian besar jiwa manusia berada dalam nafs lawwamah, di mana manusia berada dalam kondisi “bolak-balik” antara kecenderungan pada sifat-sifat ilahiah dan nafsu-nafsu hewani.

Dengan berlatih sebulan penuh dalam setahun, manusia diharapkan mampu kembali ke kondisi fitrahnya, menjadi manusia baru yang lebih cenderung kepada sifat-sifat ilahiyah. Bila berhasil melewati pelatihan ini dan berhasil kembali ke kondisi fitrinya, manusia layak merayakannya dengan Idul Fitri. Inilah perayaan di mana manusia berhasil mengalahkan kecenderungan-kecenderungan hewaninya yang berlebihan. Inilah perayaan ketika seseorang telah berhasil menjadi manusia baru. Karena itulah, muncul tradisi berpakaian baru pada setiap Idul Fitri sebagai simbol lahirnya manusia baru.

Keberhasilan menjadi manusia baru yang fitri itu diharapkan mampu membawa manusia kepada sikap-sikap ilahiyah dalam melaksanakan aktivitas selama setahun sesudahnya. Namun, sifat-sifat hewani pada manusia akan sangat mungkin kembali bangkit dan menguasai jiwa manusia selama perjalanan hidupnya dalam setahun. Untuk itulah pelatihan ini diulang kembali sebulan penuh pada ramadhan berikutnya.

Allahu A’lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar